Nana S.S. Udi Putra,
Dasep Hasbullah, Imran Lapong, Mike Krimer,
Sugeng Raharjo,
Nila hasil budidaya di tambak |
Pembudidaya udang skala kecil adalah yang
paling terkena dampak dari wabah penyakit ini. Banyak dari mereka menghentikan
usahanya dan lahan tambak kembali menjadi tidak produktif dan terbengkalai yang
akhirnya berdampak pada menurunnya kemampuan ekonomi masyarakat pesisir. Menyikapi
kondisi tersebut maka perlu upaya yang tepat dan signifikan terutama bagi
masyarakat yang terkena dampak besar secara ekonomi dan mencoba mengembalikan produktivitas
tambak-tambak yang menganggur dengan resiko dan biaya yang rendah.
Dalam rangka untuk memecahkan masalah
tersebut, Sejak tahun 2010 BBAP Takalar Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya
Kementerian Kelautan dan beberapa instansi lainnya baik di Indonesia maupun
Australia untuk mengimplementasikan
proyek Australian Center for International Agricultural
Research (ACIAR) yang berjudul “Diversification of small-scale
aquaculture in Indonesia”. Fokus dari kegiatan ini adalah mengembangkan
jenis komoditas budidaya potensial yang bisa dikembangkan di tambak melalui
percontohan budidaya secara langsung dan melibatkan petambak skala kecil.
Lokasi percontohan budidaya ikan nila adalah
Desa Bonto Bahari Kabupaten Maros Sulawesi Selatan.
Nila sebagai komoditas potensial dibudidayakan di Tambak
Jenis komoditas budidaya yang direkomendasikan
adalah ikan nila (Oreochromis
niloticus), karena ikan jenis ini mempunyai karakteristik daya
hidup yang sangat tinggi terhadap berbagai
kondisi lingkungan termasuk salinitas air, dan kondisi lingkungan lainnya.
Sehinngga jenis ikan ini sangat tepat untuk dijadikan alternatif dalam rangka
mengoptimalkan keberadaan tambak dan peningkatan ketahanan pangan bagi
masyarakat pesisir. Namun demikian untuk menjamin pertumbuhan nila yang optimal
salinitas air tambak harus dipertahankan pada kisaran 0-15 ppt. Pertumbuhan
nila akan semakin bagus pada kondisi lahan dengan kandungan bahan organik yang
minimal.
Dari hasil kajian BBAT Takalar dan ACIAR sebelumnya
strain nila yang potensial dikembangkan di tambak Sulaiwesi Selatan adalah strain
nila GESIT (Genetically Supermale Indonsian Tilapia). Strain yang
dikembangkan di BBAP Takalar dengan calon induk berasal dari BBPBAT Sukabumi
Jawa Barat. Karaktetastik strain ini
bisa menghasilkan anakan ikan nila jantan yang lebih dari 80% sehingga pertumbuhan
lebih cepat dan lebih besar dalam waktu 4 bulan periode pemeliharaan.
Budidaya Nila
Uji coba pertama di lakukan pada tahun 2011
dengan melibatkan 1 (satu) orang petani, dan pada tahun 2012 melibatkan 4 petani.
Luas tambak sebaiknya ada pada kisaran 0,5 – 1 Ha, padat tebar 1 ekor/m2
dan ukuran benih 5-8 cm. Aklimatisasi perlu dilakukan untuk mengantisipasi
kemungkinan adanya perbedaan salinitas dan suhu air antara media air yang digunakan dipembenihan dan air tambak saat
penebaran.
Sistem budidaya tradisional dengan pola ganti
petakan tambak untuk setiap periode 1 bulan atau 2 bulan setip siklusnya
(sistem modular). Proses pemindahan dilakukan
setelah pakan alami yang tersedia di petak pemeliharaan habis dan petak baru
telah siap serta dipenuhi pakan alami.
Untuk keamanan pangan,
selama proses tidak menggunakan obat-obatan, pupuk unorganik, dan pakan
komersial. Pakan tambahan yang diberikan
berupa dedak halus yang ditebar langsung menggunakan karung yang dibolongi.
Budidaya
nila sistem tradisional mampu meningkatkan biomas dari 5 g menjadi 200 – 250 g
selama 120 hari pemeliharaan. Perbedaan
pendapatan terjadi karena adanya perbedaan harga pasar pada saat panen. Pada
tahun 2011 harganya Rp.13000 per kg sedangkan pada tahun 2012 sebesar Rp 17.000
per kg. Setiap tambak bisa menghasilkan sekitar 300 kg per 0,5 Ha, sehingga
paling rendah mereka bisa memperoleh Rp 4 juta per siklus (Tabel 1).
Dari hasil tersebut, budidaya nila lebih menguntungkan dibanding budidaya
udang tradisioal yang ada pada kisaran Rp 1 juta – Rp 5 juta. Keuntungan lainnya dari budidaya nila di
tambak udang adalah bisa menjadi budidaya tambahan saat kondisi salinitas air rendah.
Tabel 1. Produksi ikan
nila di tambak di Bontobahari Kabupaten Maros Sulawesi Selatan hingga tahun
2012.
Pembudidaya
|
Waktu penebaran
|
Luas areal (Ha)
|
Jumlah bibit
|
Produksi
|
Nilai uang (Rp Juta)
|
1
|
April 2011
|
0,5
|
5000
|
298
|
4,02
|
2
|
Feb-2012
|
0,5
|
5000
|
325
|
5,525
|
3
|
Feb-2012
|
0,5
|
5000
|
325
|
5,525
|
4
|
Feb-2012
|
0,5
|
5000
|
300
|
5,100
|
H. Zainuddin, Pembudidaya nila di tambak |
Berdasar pada hasil produksi
tersebut di atas pihak BBAP Takalar dan ACIAR melakukan perluasan wilayah
binaan ke daerah lain dibantu oleh Dr. Mardiana E. Fachri dari Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar. Para pembudidaya tambak
di daerah lain seperti Desa Salenrang, Bontolempangan di Kabupaten Maros, Desa
Labakkang dan Kanaungan di Kabupaten Pangkep tertarik untuk mengembangkan
budidaya nila ditambak.
Dari hasil uji coba tersebut
kegiatan budidaya nila di tambak memberikan manfaat dan keuntungan bagi
masyarakat pesisir karena :
Investasi rendah
Modal yang
dibutuhkan untuk kegiatan budidaya maksimal Rp 1,5 juta. Pebudidaya skala kecil umumnya memiliki modal yang terbatas dan sulit
medapatkan akses ke lembaga pembiyaan. Sehingga alternatif budidaya nila sangat
penting bagi masyarakat pesisir khususnya bagi pembudiaya skala kecil.
Teknik budidaya yang sederhana
Umumnya bekas tambak budidaya udang
bisa dipakai untuk budidaya nila. Tidak membutuhkan pengontrolan yang ketat
seperti budidaya udang. Persyaratan utama yang dibutuhkan adalah hanya kondisi
salinitas air yang lebih lendah dari 15 ppt.
Meningkatkan Pendapatan
Kegiatan budidaya nila bisa menjadi
kegiatan utama ataupun tambahan bagi masyarakat pesisir. Kegiatan budidaya nila
sebagai kegiatan tambahan bisa dilakukan pada saat salinitas air tambak terlalu
rendah untuk budidaya udang. Bila tambak-tambak bisa termanfaatkan sepanjang
tahun maka pendapatan petani pun akan meningkat pula.
Keuntungan yang tinggi
Bila dikonversi ke luasan satu hektar, hasil dari budidaya
nila sistem tradisional mencapai kisaran Rp 8-11,5 juta per ha per siklus. Keuntungan
dari kegiatan budidaya memiliki hasil yang lebih tinggi dibanding dengan
budidaya udang tradisional yang hanya mencapai Rp 1-5 juta per ha per siklus
budidaya. Sehingga budidaya nila sangat
menjanjikan peningkatan pendapatan bagi masyarakat pesisir.
Memanfaatkan tambak idel
Budidaya nila bisa membantu
meningkatkan kondisi kualitas air dan lingkungan dan memanfaatkan kembali
tambak-tambak yang sebelumnya tidak lagi digunakan untuk budidaya udang,
sehingga tambak kembali menjadi produktif.
Meningkatkan kualitas lingkungan
Kegiatan budidaya ikan nila di
tambak udang akan membantu memutus carier penyakit yang biasa menyerang udang.
Sehingga kondisi lingkungan akan terhindar dari penyakit yang akan menyerang
udang, dan sekaligus akan meningkatkan sustainabilitas usaha budidaya udang.
Rencana penelitian dan pengembangan
Nana S S Udi Putra nana_ssup@yahoo.com |
Ucapan terima kasih
Kami mengucapkan terima kasih kepada Dr Mardiana E.
Fachri, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar,
dalam membantu pengembangan kelompok pembudidaya. Artikel merupakan hasil dari Proyek ACIAR
project FIS/2007/124 ‘Diversification of smallholder coastal aquaculture in
Indonesia’.
Posting Komentar